Selasa, 12 Januari 2010

keburukan struktur organisasi garis dan fungsional pada suatu institusi pendidikan

Tak dapat dipungkiri, sistem ekonomi kita menganut kapitalisme sebagai paradigma. Ini berarti landasan filsafat penyelenggaraan kehidupan ekonomi bernegara bukanlah kekeluargaan ataupun kegotong royongan. Melainkan materialisme, yang dalam hal ini adalah uang, keuntungan, dan segala kemakmuran yang dapat dirasakan dan terlihat oleh kasat mata. Sepertinya itulah yang selalu menjadi preferensi dan orientasi utama. Sehingga jangan heran jika tanpa sadar kita telah bersikap, berlaku, dan berpikir sesuai dengan karakter tipikal kapitalisme. Bahwa perekonomian tidak lagi bervisi kemakmuran dan keadilan untuk semua. Pendek kata, ekonomi hanya untuk ekonomi itu sendiri.

Di level negara kecenderungan diatas tampak jelas dari pijakan nilai, pilihan paradigma berpikir, yang termanifestasi dalam prioritas kebijakan: yang pada akhirnya selalu berpihak pada modal, berorientasi industri, bias sektor urban. Elan populisme dalam setiap policy sangatlah kurang, kalaulah tidak dikatakan sama sekali tidak menunjukkan keberpihakan terhadap lapisan akar rumput.

Sebenarnya, sejak sebelum merdeka para pendiri negara telah merumuskan cara untuk membangun kehidupan berbangsa dan bernegara yang adil, makmur serta demokratis. Diantara tokoh nasional lain, Bung Hatta bisa disebut sebagai tokoh yang paling menonjol.

Dari pemikiran beliaulah tercetus bahwa perekonomian bangsa harus berdasarkan azas kekeluargaan, yang merupakan perpaduan antara individualisme dengan solidaritas. Wujud konkret azas ini menurut Hatta adalah koperasi. Yakni suatu usaha ekonomi yang berprinsipkan self help, dari semua, oleh semua dan untuk semua. Prinsip yang cukup berhasil meredam dampak buruk kapitalisme di Eropa.

Prinsisp usaha koperasi tersebut ternyata Hatta temukan juga dalam akar budaya bangsa Indonesia. Adalah komunalisme, suatu gaya hidup masyarakat pedesaan di Indonesia yang mengandung unsur demokrasi kekeluargaan dan egalitarianisme atau kesamarataan (Soediono M.P Tjondronegoro, Prisma 1980:21). Bung Hatta percaya bahwa komunalisme inilah yang akan menjadi modal penyelenggaraan ekonomi negara yang adil.

Lebih-lebih bila mengingat warisan the founding fathers yakni kehidupan menegara dengan trademark REPUBLIK. Kata republik yang mendahului kata indonesia tentu bukan tanpa makna atau hanya mengikuti trend kala itu. Kata republik ini mempunyai konsekuensi bahwa perjuangan kita adalah untuk kepentingan umum (res republica). Kepentingan seluruh masyarakat yang sekarang sedang ditakberdayakan (Rufinus Lahur, Analisis CSIS, 2000:33).

Cita-cita luhur Hatta dan para pendiri republik ternyata harus segera terkubur dalam pragmatisme pembangunan ekonomi Orde baru. Model pembangunan Neo Klasik segera menempatkan idealisme ekonomi Pancasila di posisi periferi. Narasi pembangunanisme yang sebenarnya ironi—karena teraksentuir pada pertumbuhan yang tak kunjung merembes kebawah—justru diagung-agungkan. Kemajuan yang harus dibayar mahal dengan pengkebirian parpol, depolitisasi massa, pemilu yang curang, korporatisme negara sampai marjinalisasi politik masyarakat desa melalui massa mengambang yang membodohkan (floating mass). Kemilau ekonomi semu yang keropos tersebut parahnya justru diklaim dengan ungkapan, “never has the republic such a good in time economies”, oleh para pejabat rezim Soeharto.

Di era Orde Baru, ekonomi Pancasila memang dihadapkan dengan lawan yang sungguh berat. Developmentalisme direkayasa begitu kuat sehingga menjadi mainstream paradigma perubahan sosial yang menghegemoni ideologi, “diskursus” dan cara pandang melalui produksi pengetahuan (Mansour Fakih, 2001:209).

Masih segar dalam ingatan kita bagaimana seluruh energi nasional di tumpahkan untuk sesuatu yang bernama pembangunan. Tunas-tunas bangsa pun tak luput dari indoktrinasi sistematis dalam rangka mananamkan ideologi pembangunan yang sebenarnya nothernsphere bias itu. Tatkala rezim otoritarian orde baru latah menjanjikan indonesia yang adil dan makmur, realitas aktual justru berkisah tentang negasi. Belum lagi rembesan pembangunan sampai, rakyat diharuskan mengalami penggusuran, penangkapan, dan serangkaian pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia.

Visi kerakyatan, azas kekeluargaan, cita-cita indonesia yang adil dan makmur akhirnya sebatas latah terucap dalam kata. Diperdebatkan dalam sidang-sidang wakil rakyat namun tak pernah terejawantahkan dalam realitas kontemporer. Esensinya hanyalah investasi, industrialisasi dan pertumbuhan. Tidak ada kata rakyat di sana. Kalaupun ada hal itu pastilah diurutan yang ke sekian. Rencana-rencana pembangunan dengan prioritas tinggi untuk pertanian (atau sektor kerakyatan—penulis), kata Michael Lipton, mengingatkan kita akan mahshab egalitarian semu dimana kelompok A yang menjadi prioritas tetapi kelompok B yang mendapat makanan (David Korten & Sjahrir, 1981). Tanpa perlu disebutkan, kiranya kita sudah tahu siapa A dan B itu. Begitulah nasib ekonomi Pancasila di ‘Zaman Pembangunan’. Koperasi selalu dan terlalu sering harus dipukul jatuh oleh korporasi. Pembangunan menjadi jauh dari cita-cita pemerdekaan dan pembebasan manusia secara manusiawi (Maroelak Sihombing, Prisma 1980:31).

Sekarang ini tantangan ekonomi Pancasila bahkan semakin berat. Kalau di era 1970-an kapitalisme memukul dengan developmentalismenya, maka sekarang ia hadir dalam bungkus yang baru. “Globalisasi!”. Itulah bajunya yang baru. Tidak berbeda dengan sebelumnya, ia datang dengan janji yang sama. Yakni ”kemakmuran dan keadilan untuk penduduk dunia”. Hanya saja sekarang ini ia terlihat lebih cantik, terkesan arif, padahal sangat mengerikan. Bagaimana peluang Ekonomi Pancasila di masa ini?

Sebagai mega proyek kapitalisme, globalisasi didukung oleh kekuatan metropolis kapitalis dunia—MNCs dan TNCs. Bahkan, seandainya pun Indonesia tidak dalam keadaan multikrisis, sepertinya tetap bukan persoalan mudah membendung gelombang besar ini. Sehingga kalau mau jujur keadaan kita sekarang sangatlah lemah. Dan Pancasila sebagai ideologi bangsa sudah mulai merasakan betapa besar arus globalisasi itu.

Globalisasi yang berbasiskan pada Neo-Liberalisme mempunyai beberapa prinsip dasar: jauhkan negara dari pasar, hentikan subsidi terhadap rakyat, serta lenyapkan ideologi welfare state (Mansour Fakih, 2001:218-219). Tiga prinsip ini juga yang menjadi resep IMF dalam menyembuhkan ‘penyakit’ perekonomian kita. Diantaranya keharusan penegetatan APBN, peningkatan suku bunga, liberalisasi perdagangan, liberalisasi pasar kapital, privatisasi, serta pencegahan pailit (Mohtar Mas’oed, 2002:23-26).

Tak pelak esensi Neo-Liberalisme ini harus diterapkan dalam penyelenggaraan perekonomian kita. Di sinilah ekonomi Pancasila harus mengalami paradoks dan sekali lagi termarjinalisasi. Sebab, beberapa prinsip dasar ekonomi Pancasila justru berada di posisi yang diametrikal dengan ide dasar globalisasi tersebut.

Pertama, ekonomi Pancasila menghendaki penguasaan negara terhadap cabang-cabang yang menguasai hidup orang banyak. Sehingga kedudukan negara adalah krusial dalam mengintervensi pasar. Terlebih bila ‘tangan-tangan tak tampak’ menunjukkan keberpihakkannya kepada yang kuat. Di samping itu, mekanisme pasar dinilai tidak mampu merefleksikan kepentingan masyarakat jangka panjang (Dibyo Prabowo dalam Mubyarto & Boediono, 1981:12). Misalnya, kecenderungan pasar yang mengkonsumsikan secara berlebihan Non-Renewable Resources.

Kedua, perekonomian harus disusun berdasarkan azas kekeluargaan. Konkretnya, memaksimalkan peranan koperasi dan prinsip-prinsipnya dalam kegiatan ekonomi nasional. Bila mengingat prinsip yang dianut kapitalisme, yaitu Darwinisme sosial: survival of the fittest, azas kekluargaan tentulah sangat bertentangan. Bagi neo liberalisme, kemakmuran yang dicapai individu akan merembes sebagai kemakmuran masyarakat. Dengan demikian, individualisme menjadi hal pokok yang harus dilindungi. Namun dalam azas kekeluargaan, kepentingan umum yang terpenuhi dengan sendirinya memberikan kepuasan kebutuhan kepada individu.

Ketiga, manusia dipandang tidak hanya sebagai economic man, tetapi sekaligus makhluk yang berdimensi sosial dan religius, yang mempunyai kelebihan moral untuk mengerem segala tindakan yang devian. Ini berbeda sekali dengan logika kompetisi ala liberal yang bertujuan mencapai kemenangan individual dan melepaskan diri dari dimensi moral maupun agama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar