Selasa, 12 Januari 2010

Perkara Aceh Merdeka, Tak Ada Cerita Lagi

APAKAH Aceh lantas akan memisahkan diri dari NKRI dengan peta baru politik di Serambi Mekkah ini? Soalnya, di eksekutif pun kini dari gubernur, walikota dan bupati sudah dikuasai mereka. Untuk mengetahui seputar masalah ini Suparta atas permintaan LIRA NEWS mewawancarai Juru Bicara Komite Peralihan Aceh (KPA), Ibrahim Bin Syamsuddin KBS, 22 April lalu, sebelum ia menggal. KPA adalah wadah para pimpinan dan anggota eks GAM. Berikut petikannya.

Kemenangan PA konon tak terlepas dari isu yang sengaja dikembangkan sejumlah kader bahwa kalau partai ini menang maka Aceh bakal merdeka. Benarkah demikian?

Itu klaim sepihak, klaim orang bodoh. sebelum lahir Partai Aceh pun sudah banyak yang menyudutkan kami dengan cara tidak terhormat, seperti menuduh memperjuangkan Merdekalah, Referendumlah jika kami menang. Hal itu dilakukan oleh kelompok ultranasionalisme yang tidak tahu letak yang benar dan salah.

Padahal sudah jelas sekali PA menyatakan diri berada dalam NKRI. PA berbendera merah putih, dan PA juga bersimbulkan kebesaran-kebesaran Indonesia, jadi perkara Merdeka tidak cerita lagi sudah close the door dan tidak ada lagi dalam kamus KPA atau PA.

Dulu ketika kami minta merdeka pemerintah tidak membenarkan, dan sekarang ketika GAM sudah turun gunung dan telah mengikrarkan diri dengan menandatangani MoU Helsinki, sekarang PA berada penuh di bawah NKRI, jadi kembali saya tegaskan perkara merdeka tidak ada lagi dalam mimpi kami.

SDM PA yang duduk di legislatif mendapat sorotan karena kwalitasnya dianggap lebih rendah dibanding wakil rakyat sebelumnya. Komentar Anda?

Hal itu bukan satu masalah. PA tahu dan sadar diri, bahwa kita masih kurang dalam ilmu legislasi, dan yang paling penting kita akan meng-up-grade mereka yang akan duduk di kursi parlemen. Saya telah menekankan ke pengurus partai sebelum mereka duduk di kursi parlemen. Caleg-caleg diwajibkan ikut kursus ilmu-ilmu yang terkait dengan legislasi dan berbau pemerintah.

Dan selama ini sudah ada NGO yang menawarkan jasanya untuk memberikan ilmu tersebut. Kita akui kita masih belum kompleks dalam ilmu itu. PA tidak boleh menyerah untuk terus belajar.

Kita juga tahu tidak semua orang begitu duduk di legislatif tahu peraturan dan undang-undang. Selain itu banyak caleg dari kami juga berasal dari akademisi. Jadi tidak perlu ragu tentang kemampuan kami.

Setelah mayoritas di DPRA, sementara eksekutif juga dikomandoi tokoh eks GAM apa agenda akhir untuk Aceh?

Kita punya tujuan yang sama yaitu mensejahterakan rakyat Aceh. Sebenarnya ini bukan keinginan hari ini, tapi keinginan dari puluhan tahun lalu. Bagaimana kita mengubah nasib orang Aceh untuk lebih maju, bagaimana orang Aceh tidak menjadi pengutip sampah di negerinya sendiri.

Kita tidak mau Aceh seperti negara-negara Afrika yang kaya emas, kemudian penduduknya menjadi buruh di negaranya sendiri. Dan tanggungjawab ini tidak mutlak kepada legislatif dan eksekutif semata, tapi tanggungjawab kita bersama sebagai masyarakat Aceh, untuk bahu membahu membangun.

Apa yang kita lihat sekarang di Aceh, Anggaran triliunan, tapi hampir tak tersentuh masyarakat kecil. Kita akan memperjuangkan itu, terutama membangun infrastruktur di pedesaan.

Apa saja kira-kira qanun dan peraturan lain yang bakal diperjuangkan untuk ditetapkan di Bumi Aceh, pasca kemenangan PA?

Sampai saat ini ada 70 Qanun lebih belum dikerjakan, seperti Qanun Wali Nanggroe, kanun 7030. Soal yang mana menjadi prioritas kami, akan kita lihat kemudian, saya tidak mau komentar lebih jauh tentang ini, yang jelas kerja DPRA ke depan sangat berat dan melelahkan.

Apalagi nanti akan timbul fitnah dan kritikan yang tajam yang diarahkan ke kita oleh kelompok ultranasionalis.

Jadi DPRA ke depan juga tidak hanya memperjuangkan qanun saja, tapi memperjuangkan satu sistem pemerintahan yang komplit menyangkut soal Aceh, seperti yang diamanahkan MoU Helsinki dan Undang-undang Pemerintah Aceh. Ini yang harus digaris bawahi.

Bagaimana mekanisme koordinasi antara KPA, PA dan anggota legislatif dari PA di parlemen?

Ini bukan satu hal yang luar biasa. Mereka masih dalam satu induk. Jadi KPA yang di luar tidak ada urusan dengan PA di dalam parlemen, masing-masing punya tugas untuk menjaga lingkarnya sendiri.

PA menjaga kebesaran partai, KPA menjaga keharmonisan anggotanya terutama mantan kombatan, sedangkan legislatif tetap memperjuangkan apa yang menjadi tanggung jawabnya kepada publik. Itu semua tetap saling koordinasi, karena mereka masih bernaung dalam satu wadah yang sama.

PA sampai sekarang belum melakukan koalisi dengan partai nasional. Kira-kira partai apa yang akan diajak berkoalisi. Lalu, visi dan misi partai apa yang kira-kira dianggap mendekati dengan PA.

Untuk sementara belum. Cepat-cepat berkoalisi itu ketika kita tahu akan kalah. Ini trik main. Jadi sekarang PA ada di atas, memang untuk pusat kita butuh wakil untuk menyampaikan aspirasi kita.

Hanya saja, kita lihat dulu sampai adanya penetapan yang di lakukan KIP, kalau kemudian kita membutuhkan koalisi itu akan kita atur langkah kemudian, benar untuk pusat kita butuh wakil tapi itu akan kita komunikasikan ke depan.

Menjelang Pemilu 2009, Tengku Hasan Tiro berada di Malaysia, tapi tidak ke Aceh. Apa pesan yang disampaikan kepada KPA?

Pesan yang luar biasa yang Wali disampaikan ke kita, intinya beliau meminta kami untuk menghormati MoU yang telah di sepakati bersama, menjaga perdamaian yang telah ada, karena perdamaian didapatkan dengan jalan berliku dan perjuangan yang melelahkan.

Adakah Tengku Hasan Tiro membahas sesuatu yang penting mengenai Aceh ke depan dengan rekan-rekan di KPA?

Kedatangan wali ke Malaysia tidak ada sangkut pautnya dengan politik. Kedatangannya khusus seremonial dengan keluarga di Kuala Lumpur, tidak berurusan dengan GAM atau KPA, atau kampanye seperti gosip-gosip liar yang selama ini kita dengar, seperti memberi kampanye kepada PA memberi ini, memberi itu. Jadi kedatangan Wali ke Malaysia hanya kerinduannya kepada saudaranya.

Sekadar minta penegasan, apakah perjuangan lewat jalur politik ini tetap akan menuju Aceh yang mandiri, terpisah dari Indonesia?

Untuk format terpisah bukan masanya lagi untuk dibincangkan, dan kami tetap komit dengan perjanjian. Sekarang kita berada di antara dua dunia, jalur kekerasan dan jalur politik. Kita telah dan sedang menempuh kedua itu, bahkan untuk jalur kekerasan sudah kita lewati. Jalur diplomasi ini akan kita teruskan, kalau kita kembali berpikir ke belakang kita akan terus jalan di tempat, Aceh tidak akan berkembang.

Saya pribadi tidak ingin kembali ke masa lalu itu, yang rakyat Aceh butuhkan sekarang kemakmuran, ketenteraman, dan kita tidak ingin mengorbankan keinginan Rakyat untuk kepentingan kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar